jangan hanya puas dengan hasil sedikit tapi puaslah karena usaha anda yang banyak dan berhasil. ingat!!! hasil akhir dari usaha anda itu penting

March 6, 2011

Al Quran dan Sunnah sebagai Sumber Hukum

Definisi dalil Syara’ dan Sumber Hukum
Secara bahasa dalil adalah “yang menunjukan terhadap sesuatu”. Dalil bisa diartikan pula sebagai ما فيه دلالة وإرشاد artinya perkara yang di dalamnya terdapat petunjuk. Ulama ushul fiqh mendefinisikan dalil dengan istilah
الذي يمكن ان يتوصّل بصحيح النظر فيه الى العلم بمطلوب خبري artinya sesuatu yang dengan penelaahan yang shahih bisa mengantarkan kepada pengetahuan terhadap mathlub khobari (hukum suatu perkara yang sedang dicari status hukumnya).
Definsi sumber hukum adalah tempat atau bahan yang menjadi rujukan dalam mengetahui sesuatu prinsip atau hukum syara’ termasuk perniagaan Islam.

Pembagian sumber hukum
Sumber hukum



Utama (disepakati) sumber hukum tambahan.
(Tidak disepakati)


Al Qur’an hadis ijma qiyas istihsan masalih mursalah uruf istishab
1. Al-Qur’an
Al qur’an menurut ulama ushul fiqh ialah himpunan firman atau kata-kata Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad s.a.w. melalui perantaraan malaikat Jibril A.S. dengan bahasa arab serta dianggap ibadah bagi yang membacanya .
Dilalah Al Qur’an



Qath’iy Zanniy


qath’iy wurud qath’iy dalalah zanniy wurud zanniy dalalah
• Mengenai qath’iy dan hubungannya dengan nash, ulama ushul fiqh membaginya menjadi dua macam; (1) qath’iy wurud yaitu nash yang sampai kepada kita adalah sudah pasti tidak dapat diragukan lagi karena diterima secara mutawatir. (2) qath’iy ad dalalah yaitu nash yang menunjukan kepada pengertian yang jelas, tegas serta tidak perlu lagi penjelasan lebih lanjut. Umumnya nash Al Qur’an yang dikategorikan qath’i dalalah adalah lafal dan susunan kata-katanya menyebutkan angka, jumlah atau bilangan tertentu serta sifat, nama dan jenisnya jelas. Contohnya :
...ولكم نصف ما ترك ازواجكم ان لم يكن لهن ولد...
• Mengenai zanniy dan hubungannya dengan nash terbagi dua, yaitu; (1) zanniy al wurud yaitu nash yang masih diperdebatkan tentang keberadaannya karena tidak dinukil secara mutawatir. (2) zanniy ad dalalah yaitu nash yang pengertiannya tidak tegas dan masih mungkin mengandung pengertian lain dari literalnya.
2. Sunnah (Hadits)
Sunnah(Hadis) Nabi merupakan sumber hukum primer kedua. Dalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat yang menegaskan tentang kewajiban mengikuti Allah yang digandengkan dengan ketaatan mengikuti rasul-Nya, seperti firman Allah berikut
     •          
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(Q.S. Ali Imran: 31)
Sunah menurut ushul fiqh ialah segala yang diriwayatkan dari Nabi SAW berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang berkaitan dengan hukum .
Kehujahan Sunah
Kesepakatan kaum muslimin akan kehujahan as-sunah dalam agama sebagai salah satu dalil hukum, sesuai firman Allah :
ومآ أتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فنتهوا
“apa yang telah diajarkan Rasul kepadamu hendaklah kamu ambil dan apa yang dilarang bagimu maka kamu hentikan”
Analoginya (Al Qur’an) seperti sebuah teko yang memerlukan (sunnah yang di analogikan dengan) gelas agar mudah meminum air dari padanya.
Peranan Hadits terhadap Al-Qur’an adalah sbb :
• Secara umum fungsinya sebagai penjelas ayat-ayat hukum Al Qur’an.
• Menjelaskan isi Al Qur’an diantaranya dengan merinci, mantakhsisi ayat-ayat sifatnya global (umum).
• Membuat aturan tambahan yang bersifat teknis atas suatu kewajiban yang disebutkan pokoknya dalam Al Qur’an.
• Menetapkan hukum yang belum disinggung dalam Al Qur’an.
Contoh : كل ذي ناب من السباع فأكله حرام
“semua jenis binatang buruan yang mempunayi taring dan burung yang mempunyai cakar maka hukum memkannya adalah haram (HR Nasa’i).
• Bayan at tafsir yaitu menerangkan ayat yang sangat umum, mujmal, musytarak. Contoh : صلّو كما رأيتموني اصلي
“Salatlah kamu sebagaimana kamu melihatku salat” ini merupakan tafsiran dari ayat Al Qur’an yang umum, yaitu aqimush-shalah
• Bayan taqrir yaitu memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al Qur’an.
Contoh : صوم لرئيته وافطر لرئيته
“Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya” ini memperkokoh ayat 185 surat al baqarah.
• Bayan taudih yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al Qur’an seperti pernyataan nabi “Allah tidak mewajibkan zakat malainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah di zakati”. Ialah penjelasan terhadap ayat Al Qur’an dalam surat at taubah ayat 34; “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih” pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat berat melaksanakn perintah ini, dan bertanya kepada Rasul, Rasul pun menjawab dengan hadis tadi.
Hadist Nabi yang mutawatir dan sahih maka dalilnya bersifat Qath’i (pasti) wurudnya (sumbernya). Sedangkan hadits ahad masih diperselisihkan ke sahihannya oleh para ulama hadits maka dalilnya bersifat dzanni (dugaan) wurudnya.
Demikian pula dhalalah (petunjuk lafazh) nya, bila maknanya sharih dan tidak ada perbedaan pendapat diantara ulama maka qath’i pula dhalalahnya. Tapi bila ada perbedaan pendapat diantara para ulama mengenai maknanya maka menjadi dzunni dhalalahnya.

C. Istinbath hukum
Dalam istinbath (menetapkan hukum/mengeluarkan) hukum maka yang harus diperhatikan adalah:
1. Kejelasan makna lafazh
Tingkat kekuatan kejelasan lafazh dalil yang jelas, terdiri atas :
• Zhahir, paling rendah tingkat kejelasannya. Masih memungkinkan adanya makna lain (ihtimal). Contoh zhahir seperti pada ayat :
“Dan jika kamu takut akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (QS An-Nisa’ : 3).
Dari segi “zhahir” lafazh ayat membolehkan poligami maksimal sampai empat orang istri dengan syarat harus berlaku adil. Namun lafadz zhahir masih memungkinkan menerima adanya takhshis (pengkhususan), ta’wil dan nasakh.
• Nash, lebih jelas dari zhahir karena tidak menerima kemungkinan makna lain (ihtimal). Contoh nash seperti pada ayat :
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat.” (QS An-Nur : 2).
Hukum hudud dera seratus kali menunjukkan bilangan yang pasti tidak kurang tidak lebih dari seratus yang tidak menerima kemungkinan jumlah yang lain.
• Mufassar, lebih jelas dari nash, karena ada dalil yang menafsirkan secara detail lafazh yang sebelumnya masih mujmal (global).
Perhatikan firman Allah :
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya… .” (QS Al-Maidah: 38).
Ayat diatas masih bersifat mujmal (global) yang kemudian datang hadits nabi yang menafsirkannya sehingga menjadi mufassar (ditafsirkan), hadits yang menafsirkan ketentuan potong tangan bagi pencuri adalah : “tidak dikenakan hukuman potong tangan, pencurian terhadap mayang kurma, tidak pula pencuri buah-buahan.”, “Tidak dikenakan hukuman potong tangan, pencurian yang kurang dari 10 dirham.” Demikian juga tidak dilakukan hukum potong tangan bagi prajurit yang mencuri dalam pererangan dan Khalifah Umar menetapkan tidak menerapkan hukum potong tangan pada pencurian ketika musim paceklik dan kelaparan. Dalil yang mufassar tidak mempunyai kemungkinan makna lain kecuali berupa nasakh.
• Muhkam, paling jelas karena tidak menerima kemungkinan makna lain (ihtimal) baik itu berupa takhsis, ta’wil maupun nasakh, seperti firman Allah :
“Dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.” (QS An-nur : 4).
Sedangkan lafazh yang tidak jelas maknanya, terdiri atas :
 Al-Khafi, maknanya tidak jelas pada sebagian pengertian cakupan makna yang dimaksud (maudlul).
Contoh Hadits nabi : “Orang yang membunuh itu tidak berhak mendapat warisan.”
Lafazh “qatil” (pembunuh) dari segi arti maupun sasaran adalah pembunuhan yang sengaja. Maka bagaimana halnya dengan pembunuhan karena tidak sengaja, apakah pembunuh yang tidak sengaja juga tidak berhak mendapat warisan ? Disini terjadi perbedaan pendapat dikalangan para Imam mazhab.
Contoh lain yaitu lafazh “sariq” pencuri maka pengertian umumnya adalah orang yang secara sembunyi-sembunyi mengambil harta orang lain yang tersimpan. Maka pencopet (ath-tharar) apakah termasuk katagori pencuri atau bukan, karena pencopet mencuri dengan terang-terangan tidak sembunyi-sembunyi sehingga apakah harus diterapkan hukum potong tangan atau tidak.
Demikian juga pencuri kain kafan (nabbasy) apakah termasuk kategori pencuri (sariq) atau bukan, karena pencuri kain kafan mencuri barang yang bukan milik orang yang hidup dan tentunya juga bukan hak milik si mayat sehingga apakah harus diterapkan hukum potong tangan atau tidak.
Imam Abu Hanifah dan Muhammad Hasan Asy Syaibani tidak memasukkan pencopet dan pencuri kain kafan dalam katagori pencuri yang harus dihukum potong tangan. Sedangkan Imam Abu Yusuf, Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad bin Hanbal memasukkan pencopet dan pencuri kain kafan termasuk pencuri yang harus dihukum potong tangan.
 Al-Musykil yaitu lafazh yang maknanya samar karena sebab pada lafazh itu sendiri. Seperti lafazh yang musytarak (punya lebih dari satu arti). Contohnya kata ‘ain, kata ini mengandung beberapa makna bisa berarti : mata, mata air, esensi zat dan mata-mata (intel). Lafazh musykil harus diperhatikan dalam konteks apa kata itu dirangkai dengan kata yang lain menjadi kalimat dengan pengertian yang tepat dan harus dicarikan perbandingannya dari dalil-dalil yang lain yang dapat membantu penafsirannya.
 Mujmal (global) yaitu lafazh yang maknanya mengandung cakupan dan kemungkinan yang luas yang banyak yang tidak mungkin diketahui secara pasti kecuali melalui dalil lain yang menjelaskan sehingga yang mujmal tersebut menjadi terjelaskan (mubayyan).
Contohya tentang perintah sholat dan manasik haji, kedua lafazh itu masih mujmal maka dari dalil beberapa hadits yang berupa perkataan dan contoh perbuatan nabi yang menjelaskan detail tata cara sholat dan haji .
 Mutasyabih yaitu lafazh yang sangat samar maknanya, sangat sulit bahkan ada yang tidak mungkin dipahami maknanya oleh akal ulama sekalipun dan hanya Allah yang tahu maknanya. contoh ayat-ayat yang mutasyabih adalah :
a. Ayat-ayat mansukh (yang dihapus) dan tidak diberlakukan hukumnya atau telah dihapus lafadznya dari mushaf.
b. Ayat-ayat yang mengandung kata-kata yang sulit dipahami maksudnya.
Contoh: riwayat Abu Ubaid, dari Anas: “Khalifah Umar pernah membaca ayat, “wafakihatan wa abban … Dan buah-buahan dan rumput-rumputan” (QS Abasa: 31), lalu ia berkata : “Kalau buah-buahan ini kami telah mengetahui, tetapi apakah yang dimaksud “al-ab” ?”, kemudian Umar berkata kepada dirinya sendiri : “Hai Umar, sesungguhnya apa yang kamu lakukan itu benar-benar suatu perbuatan memaksakan diri”. Riwayat lain dari Muhammad bin Sa’d dari Anas : “Umar berkata kepada dirinya sendiri : ”Ini hal yang dipaksakan, tiada dosa bagimu bila tidak mengetahui”.
a. Ayat-ayat tentang Asma’ Allah dan sifat-sifatNya yang menyerupai sifat mahkluk, contoh : Allah Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, Maha Berfirman (Kalam), Maha Hidup, dsb.
b. Ayat-ayat tentang perbuatan Allah yang menyerupai perbuatan mahkluk, contoh : Allah “bersemayam” diatas Arsy, Allah “turun” ke langit dunia, Allah “melempar”, dan “datang” lah Tuhanmu, dsb
c. Ayat-ayat tentang anggota tubuh Allah, contoh : Segala sesuatu pasti binasa kecuali “wajahNya”, “tangan” Allah diatas tangan mereka, dsb.
d. Hakikat sebenarnya tentang ayat-ayat metafisika (ruh, alam jin, alam malaikat, alam kubur, surga-neraka, akhirat).
e. Huruf-huruf hijaiyah pada awal surat (huruf muqatta’ah).
Yang perlu diingat bahwa ayat-ayat mengenai taklif (beban kewajiban) dan yang memuat ketentuan-ketentuan hukum yang merupakan sendi syariat Islam didalamnya tidak ada yang mutasyabih.






SIMPULAN
Al Qur’an dan sunnah sebagai sumber hukum utama. Sunnah dan Al Qur’an adalah seperti seperangkat alat minum (teko dan gelas) karena sunnah merupakan penjelas bagi beberapa ayat dalam Al Qur’an. Untuk memperoleh suatu produk hukum maka harus melalui cara istinbath, dan cara istnbath hukum ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan diantaranya kejelasan makna dan dalalahnya.
Selain itu, Al-Qur’an dan al-hadis memiliki hubungan,diantaranya;
a. Hadis sebagai sebagai penetap dan penguat hukum yang telah ada di dalam al qur’an.
b. Hadis sebagai penjelas dari isi Al-qur’an
c. Hadis sebagai dalil independen dalam menetapkan hukum.

DAFTAR PUSTAKA
Syafe’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Biek, Muhammad Al Khudhori, Teremah Ushul Fiqh, Pekalongan: Raja Murah, 1982.
http://www.slideshare.net/road to khilafah/sumber-dalil-dalam-islam.4/maret/2011.
http://www.slideshare.net/wanbk/bab-2-sumber-hukum-islam. 4/maret/2011.
http://www.slideshare.net/lukmanul/presentasi-ushul-fiqh-5-quran-sunnah. 4/maret/2011.
http://www.darussalam-okus.co.cc/2010/10/pengertian-ushul-fiqh-sumber-hukum.html. 5/maret/2011.
http://www.slideshare.net/lukmanul/presentasi-ushul-fiqh-dalil-yg-tidak-disepakati. 5/maret/2011.

Baca Yang ini

Musik Mp3

Filsafat

Bimbingan Konseling

Ilmu Alam

Artikel