a.
Pengertian Pemimpin
Pemimpin menurut
Henry Pratt Fairchild, seperti yang dikutip oleh Kartono, dalam pengertian luas
ialah seorang yang memimpin dengan jalan memprakarsai tingkah laku sosial
dengan mengatur, mengarahkan, atau mengontrol usaha/upaya orang lain, atau
melalui prestise, kekuasaan atau posisi. Dalam pengertian yang terbatas,
pemimpin adalah seorang yang membimbing, memimpin, dengan bantuan
kualitas-kualitas persuasifnya. Dengan bahasa yang lebih sederhana, John G.
Alee mendefinisikan pemimpin adalah pemandu, penunjuk, penuntun, atau komandan.
Dalam perspektif
Islam, untuk menjadi pemimpin yang amanah dengan jabatannya, dibutuhkan
beberapa hal, yaitu:
Untuk menjadi pemimpin yang
amanah tidak bisa dipungkiri motivasi dalam diri sebagai muslim adalah hal yang
penting. Hal ini karena, dalam dunia materi (nyata, konkret) terlebih dalam
dunia politik, selalu berbenturan dengan kepentingan-kepentingan orang lain,
yang searah atau bersebrangan. Hal inilah yang akan, mempengaruhi pola pikir
calon pemimpin.
Arvan Pradiansyah, dalam bukunya yang berjudul, Kalau Mau
Bahagia Jangan Jadi Politisi, menceritakan
ketika lingkungan bisa merubah pola pikir temannya yang taat beragama
menjadi seorang koruptor. Seolah tidak percaya, tapi itulah yang terjadi.
Hal ini menurut Arvan, karena proses penggarusan nilai terus
terjadi dalam interaksinya dengan para politisi dan anggota dewan. Proses ini
terjadi karena adanya suatu pembiasaan. Contoh sederhana lainnya, ketika ada
seorang pendatang ke Jakarta berasal dari desa, yang selalu menggunakan kata
yang sopan. Ketika berkomunikasi dengan teman yang lain di Jakarta selalu
menggunakan kata gaul “elu dan gua”. Pertama kali pasi seorang tersebut akan
merasa risih dan terkesan kasar. Tapi lambat laun, seorang tersebut mulai
menerima bahwa kata tersebut bukanlah kata yang kasar, melainkan kata yang
menunjukkan keakraban dan kedekatan. Ya, hal inilah yang menunjukkan bahwa lingkungan bisa membentuk karakterseseorang.
b.
Penyalahgunaan jabatan (korupsi)
Dewasa ini
korupsi menjadi kasus yang selalu hangat diperbincangkan media. Hampir setiap
hari, media massa menempatkan kasus korupsi menjadi head lean-nya. Secara
sederhana, korupsi dapat dipahami sebagai usaha menggunakan kemampuan campur
tangan karena posisinya untuk menyalah gunakan informasi, keputusan, pengaruh,
uang, atau kekayaan untuk kepentingan keuntungan dirinya.
Melihat hal
tersebut, apa sebenarnya yang melatar belakangi seseorang (pemimpin) untuk
melakukan korupsi. Setidaknya, menurut Arvan ada tiga hal (paradigm) yang
mendasarinya, yaitu:
Pertama, adalah
kecenderungan bahwa manusia untuk mementingkan diri sendiri dan keserakahan
yang tidak ada batasnya. Ini didasarkan pada paradigma yang salah dalam
memandang hidup. Banyak orang yang memandang dirinya hanya makhluk fisik, yang
mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya. Mereka lupa, bahwa pada dasarnya manusia
juga merupakan makhluk spiritual yang memandang hidup di dunia hanya sementara.
Kedua, banyak
orang yang masih melihat jabatan sebagai kesempatan, bukan amanah. Karena itu,
mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan jabatan kemudian memaksimalkan jabatan
tersebut untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya masing-masing.
Dan Ketiga,
banyak orang yang berfikiran bahwa “semua orang akan melakukan hal yang sama
bila mereka mendapatkan kesempatan (jabatan) yang sama”. Kalaupun ada orang
yang protes dan tidak setuju, hal itu karena yang bersangkutan tidak punya
kesempatan.
Ketika paradigm
pemimpin seperti itu, bisa kita bayangkan bagaimana sistem atau kebijkan yang
mereka buat. Sudah hampir dipastikan, kepentingan rakyat menjadi prioritas
dengan nomor sekian, yang pertama dan utama adalah bagaimana jabatan
menghasilkan keuntungan untuk kepentingan dirinya sendiri.
Korupsi, dewasa
ini bisa dikatakan sebagai masalah sosial. Karena kejahatan korupsi tidak hanya
dilakukan di pemerintah pusat saja, tetapi juga menjalar ke daerah-daerah di
Indonesia. Tidak hanya dilakukan oleh pemimpin tingkat pusat saja, tetapi juga
oleh pegawai kelurahan. Selain itu, korupsi juga menjamah lembaga pendidikan,
yang nota bene tempat pencetak generasi muda yang mempunyai intelektualitas.
Ketika sudah
seperti itu, korupsi sudah menjadi masalah sosial, yang harus dilakukan adalah
dengan melakukan aksi sosial. Karena menurut Jalaluddin Rahmat, masalah sosial
tidak bisa terselesaikan apabila hanya melakukan aksi individu saja, harus
dengan aksi sosial. Aksi sosial ini, menurut penulis, tidak cukup melakukan aksi di jalanan dengan
menyuarakan anti korupsi saja. Tetapi dengan merevisi dan menyempurnakan
sistem-sistem sosial yang ada. Karena tidak dipungkiri, kejahatan korupsi bisa
terjadi karena sistem (aturan dan hubungan yang diorganisir).