Makna Bambu Runcing
bagi bangsa Indonesia bambu runcing bermaknsa sangat dalam, tidak ada gambar dan film sejarah yang tidak menampilkan bambu runcing, bahkan bambu runcing sudah seperti “senjata bangsa” yang tidak khas daerah (seperti rencong dari aceh). lebih dari itu bambu runcing selalu digunakan sebagai semangat kebangsaan bahwa selogan yang sering kita dengar seperti, saat perjuangan kita bisa merdeka hanya dengan bambu runcing melawan senjata api. tapi mungkin sebagian diantara kita selalu menggap bahwa bambu runcing adalah bagian dari kemiskinan dan keterbelakangan, mungkin bisa dibenarkan juga tapi selalu ada fakta unik dalam setiap sejarah, begitu juga dengan bambu runcing.
Awal sejarah munculnya bambu runcing cukup unik. ketika armada Jepang mendekati Pulau Jawa akhir Februari 1942, Belanda mengira akan menerjunkan pasukan payung Kalijati. maka diperluaslah ribuan bambu yang diruncingkan ujungnya untuk menyambut pasukan para Jepang. ternyata Jepang mendarat di pantai laut dekat Eretan, langsung menuju Subang dan mengancam Kalijati, yang segera jatuh juga. ribuan bambu tadi (yang niatnya digunakan oleh belanda untuk jebakan para penerjun payung Jepang) karena ujungnya runcing oleh Jepang justru dijadikan alat latihan baris-berbaris para pemuda Seinendan, Keibodan, Gakutotai, Hizbullah dan lain-lain.
Para pemuda dengan penuh semangat mempergunakan “takeyari” ini untuk ditunjukan kepada musuh Jepang yakni sekutu, termasuk Belanda. tapi setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, oleh para pejuang ditunjukan dan digunakan untuk melawan Jepang maupun Belanda, sehingga bisa dibilang senjata makan tuan eh makan tuan-tuan. ceritanya, Dr. Moestopo membakar ujungnya sampai hangus dan dimasukan kedalam kotoran kuda (telotong, Jawa). dan digunakan untuk menakut-nakuti Jepang, akhirnya Jepang lari terbirit-birit karena takut tetanus, dan Jepang pun menyerah di ujung bambu runcing. dari sinilah awal mulai bambu runcing menjadi buah bibir para pejuang, tentu saja cara penggunaannya tidak hanya seperti itu. dalam periode selanjutnya bambu runcing digunakan untuk bertempur secara nyata. melawan senjata yang lebih moderen, biasanya diatas bambu runcing diikatkan kain dua warna, merah dan putih, sebagai simbol bendera yang dikibarkan saat proklamasi (saat itu belum mengenal bendera negara) untuk mengingatkan pejuang bahwa Indonesia telah merdeka.
Karena bambu runcing baru muncul dalam Perang Dunia kedua, dan tidak pernah digunakan dalam perang tradisional seperti Perang Aceh maupun Perang Dipenogoro, makan bambu runcing termasuk “Senjata Moderen” bangsa Indonesia. keampuhan senjata ini diakui oleh bekas lawan-lawan, yang terheran-heran senjata tank-nya akhirnya dapat dihancurkan dengan bambu runcing yang amat sederhana itu. Bambu runcing memang alat teramat sederhana, akan tetapi ditangan para pejuang heroik dan patriotik mempunyai keampuhan luar biasa, sehingga dapat mengalahkan persenjataan yang lebih moderen, seperti diakui oleh bekas lawan-lawan kita.
Bambu runcing sebagai weapon system merupakan perkembangan dari Perang Rakyat Semesta dalam Sishankamrata yang tergolong moderen dibanding dengan perang konvensional yang tidak mengikusertakan rakyat. Sistem persenjataan Indonesia mengenal adanya sistem senjata tekhnologi (sistek) dan sistem senjata sosial (sissos)
Awal sejarah munculnya bambu runcing cukup unik. ketika armada Jepang mendekati Pulau Jawa akhir Februari 1942, Belanda mengira akan menerjunkan pasukan payung Kalijati. maka diperluaslah ribuan bambu yang diruncingkan ujungnya untuk menyambut pasukan para Jepang. ternyata Jepang mendarat di pantai laut dekat Eretan, langsung menuju Subang dan mengancam Kalijati, yang segera jatuh juga. ribuan bambu tadi (yang niatnya digunakan oleh belanda untuk jebakan para penerjun payung Jepang) karena ujungnya runcing oleh Jepang justru dijadikan alat latihan baris-berbaris para pemuda Seinendan, Keibodan, Gakutotai, Hizbullah dan lain-lain.
Para pemuda dengan penuh semangat mempergunakan “takeyari” ini untuk ditunjukan kepada musuh Jepang yakni sekutu, termasuk Belanda. tapi setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, oleh para pejuang ditunjukan dan digunakan untuk melawan Jepang maupun Belanda, sehingga bisa dibilang senjata makan tuan eh makan tuan-tuan. ceritanya, Dr. Moestopo membakar ujungnya sampai hangus dan dimasukan kedalam kotoran kuda (telotong, Jawa). dan digunakan untuk menakut-nakuti Jepang, akhirnya Jepang lari terbirit-birit karena takut tetanus, dan Jepang pun menyerah di ujung bambu runcing. dari sinilah awal mulai bambu runcing menjadi buah bibir para pejuang, tentu saja cara penggunaannya tidak hanya seperti itu. dalam periode selanjutnya bambu runcing digunakan untuk bertempur secara nyata. melawan senjata yang lebih moderen, biasanya diatas bambu runcing diikatkan kain dua warna, merah dan putih, sebagai simbol bendera yang dikibarkan saat proklamasi (saat itu belum mengenal bendera negara) untuk mengingatkan pejuang bahwa Indonesia telah merdeka.
Karena bambu runcing baru muncul dalam Perang Dunia kedua, dan tidak pernah digunakan dalam perang tradisional seperti Perang Aceh maupun Perang Dipenogoro, makan bambu runcing termasuk “Senjata Moderen” bangsa Indonesia. keampuhan senjata ini diakui oleh bekas lawan-lawan, yang terheran-heran senjata tank-nya akhirnya dapat dihancurkan dengan bambu runcing yang amat sederhana itu. Bambu runcing memang alat teramat sederhana, akan tetapi ditangan para pejuang heroik dan patriotik mempunyai keampuhan luar biasa, sehingga dapat mengalahkan persenjataan yang lebih moderen, seperti diakui oleh bekas lawan-lawan kita.
Bambu runcing sebagai weapon system merupakan perkembangan dari Perang Rakyat Semesta dalam Sishankamrata yang tergolong moderen dibanding dengan perang konvensional yang tidak mengikusertakan rakyat. Sistem persenjataan Indonesia mengenal adanya sistem senjata tekhnologi (sistek) dan sistem senjata sosial (sissos)